Malaikat tanpa Sayap
"Punya film Malaikat tanpa Sayap ?"
"Nda…"
Berkali-kali ia menanyakan punya film itu atau tidak. Nyari sampai dapat. Dan hampir setahun baru bisa sempat nonton tu film. Bukan karena penasaran, tapi karena bĂȘte. Jalan ceritanya bagus, dan menguras air mata.
Berawal dari keluarga yang tidak harmonis, mengorbankan sekolah demi mencari biaya rumah sakit untuk si Adik. Dan rela menjual jantung demi biaya si Adik.
Hingga saat-saat menjelang operasi jantung, ia menuliskan surat kepada setiap yang dikasihinya. Sudah tentu jelas, membayangkan saat-saat perpisahan sebelum kematian adalah saat-saat yang sangat menyedihkan. Menulis surat untuk yang terakhir kalinya, mencintai untuk yang terakhir kalinya. Pergi dan tak akan pernah kembali lagi.
Berlanjut....alih-alih rela mengorbankan jantung si Adik, ia lebih rela lagi mengorbankan jantungnya setelah tahu bahwa jantungnya itu rupanya akan didonorkan pada kekasihnya. Akhir cerita, sang ayah yang ditembak oleh selingkuhan Ibunya kemudian mengorbankan jantungnya. Dan seperti biasa, film sinetron Indonesia selalu berakhir bahagia. Ia dan kekasihnya menikah. Dan menjadi keluarga baru. Meski tanpa Ibu. Hidup terus berjalan.
Sebab, katanya, cinta itu adalah siap ditinggalkan atau siap meninggalkan.
Yup, itu benar. Sebab, di setiap akhir pertemuan hanyalah perpisahan. Tidak ada yang lain.
Maka, apa yang sering membuat kita lupa untuk menerima perpisahan ?
No comments:
Post a Comment