Banyak yang meragukan bahwa Kurikulum 2013 akan mampu mendatangkan perubahan yang lebih baik bagi sistem pendidikan nasional. Bahkan ada yang mensinyalir bahwa kurikulum baru ini pun nantinya tidak akan berumur panjang. Kurikulum 2013 dinilai dirumuskan secara tergesa-gesa (walau pemerintah mengklaim telah menyiapkannya sejak 2010) dan tidak melalui pengkajian yang benar-benar mendalam. Lagipula, berkaca pada pengalaman yang sudah-sudah, perubahan kurikulum selalu berujung pada kegagalan mencapai apa yang diharapkan sehingga kemudian diputuskan bahwa kurikulum harus kembali berubah.
Oleh karena itu, jika akhirnya Kurikulum 2013 tetap akan diberlakukan sesuai dengan hasrat pemerintah, kita harapkan jangan ada lagi kata perlu perubahan kurikulum akibat gagalnya kurikulum baru ini di masa yang akan datang.
Ada yang menekankan bahwa seharusnya pemerintah lebih fokus pada usaha memperbaiki kualitas guru dibandingkan mengutak-atik kurikulum. Menurut mereka, sebagus apapun kurikulum yang disiapkan, jika pelaksana di lapangan, yaitu para guru, tidak memiliki kemampuan untuk mengimplementasikannya dengan baik, maka kualitas yang diharapkan akan tetap saja hanya jadi angan-angan. Selama ini pemerintah dinilai kurang melakukan pembinaan terhadap para guru. Pelatihan sangat minim. Sehingga sebagian besar guru cukup mengajar hanya dengan pengetahuan seadanya. Ditambah lagi dengan kondisi kesejahteraan para guru, terutama yang honorer, yang dinilai masih jauh dari ketegori layak. Memang perhatian pemerintah terhadap guru masih jauh dari kata cukup. Ini terutama jika dibandingkan dengan beban besar yang dipikul oleh mereka dalam usahanya mencerdaskan anak bangsa.
Terkait dengan kemampuan para guru di lapangan inilah, banyak pihak yang meragukan bahwa Kurikulum 2013 akan berhasil. Mengapa? Kurikulum 2013 berangkat dari konsep yang kedengarannya sangat bagus. Terutana dalam hal pengintegrasian beberapa pelajaran ke pelajaran yang lain. Di tingkat SD, misalnya, mata pelajaran IPA dan IPS tidak lagi menjadi pelajaran yang berdiri sendiri. IPA, begitu kata pemerintah, akan diintegrasikan atau menjadi bahan bahasan mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika. Sedangkan IPS masuk ke dalam bahasan PPKn. Demikian juga dengan mata pelajaran Muatan Lokal (mulok) yang akan diintegrasikan kedalam mata pelajaran Seni Budaya dan Penjasorkes. Metode yang digunakan dalam pengintegrasian ini disebut tematik integratif, katanya. Sebuah konsep yang sebenarnya sudah muncul sejak Kurikukum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004. Apakah ini konsep yang mudah dipahami? Kami rasa tidak!
Pemerintah mungkin punya anggapan bahwa para guru di lapangan akan dengan mudah memahami konsep pengintegrasian semacam itu. Tapi anggapan ini terlalu bersifat optimistik. Dalam kenyataannya akan ada banyak guru yang mengalami kebingungan. Pemahaman, tingkat kesiapan, dan juga pengetahuan yang ada pada guru sangat beragam. Apalagi jika dikaitkan dengan dikotomi kota dan daerah (terpencil). Dikhawatirkan akan terjadi banyaknya materi suatu pelajaran yang terabaikan. Mata pelajaran IPA mungkin akan tercecer dan terbaikan akibat guru kurang memahami bagaimana mengintegrasikannya kedalam Bahasa Indonesia ataupun Matematika. Juga IPS mungkin hanya tersentuh sedikit saja ketika ia menjadi bagian dari PPKn. Hei, bukankah materi Bahasa Indonesia, Matematika, dan juga PPKn demikian banyaknya? Bagaimana guru mengatur porsinya? Dikhawatirkan anak-anak akan mengalami pemiskinan pengetahuan yang bersifat science yaitu IPA dan IPS. Padahal dua mata pelajaran ini merupakan mata pelajaran yang sangat penting untuk kemajuan bangsa. Anehnya, pemerintah malah menyebut kurikulum 2013 SD berbasis science! Dimana letak science-nya jika dua mata pelajaran penting science malah menjadi bagian mata pelajaran lain? Tidak Berdiri Sendiri.???
Bagi kami sendiri, untuk tingkat SD, lebih masuk akal jika PPKn yang diintegrasikan kedalam IPS. Dan itu lebih mudah dipahami. Kita tahu bahwa Pancasila dan kewarganegaraan (civic) seharusnya merupakan bagian dari ilmu sosial. Pembahasan mengenai Pancasila tidak perlu begitu detil sampai melahirkan buku yang begitu tebal (seperti yang selama ini terjadi). Cukup saja dikenalkan bahwa ideologi negara kita adalah Pancasila, siapa pencetusnya, dan nilai-nilai utama (cukup yang utama, tidak perlu bertele-tele) yang terkandung di dalamnya. Termasuk kewarnegaraan, cukup saja materi yang membuat anak paham tentang bagaimana menjadi warga negara yang baik.
Bahasa Indonesia, menurut kami, adalah media. Ya, bahasa adalah media. Ia menjadi media pengajaran untuk setiap mata pelajaran. Mengapa tidak Bahasa Indoensia saja yang diintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain? Bahkan ia bisa masuk ke pelajaran manapun. Dalam membuat laporan, membuat paparan, bahkan dalam presentasi lisan pun, bahasa Indonesia bisa masuk. Bukankah ini masuk akal? Jika sudah begini IPA dapat diselamatkan dan bahasa Indonesia tidak kehilangan porsi.
Untuk tingkat SMP dan SMA, Kurikulum 2013 juga menimbulkan keraguan dan tanda tanya. Bagaimana tidak, pemerintah mengklaim bahwa TIK akan menjadi media untuk setiap mata pelajaran lain sehingga tak perlu lagi menjadi pelajaran yang berdiri sendiri. Ini sangat kontroversial! Lagi-lagi pemerintah menilai secara keliru perihal kemampuan para guru. Pemerintah beranggapan bahwa semua guru sudah menguasai perangkat TIK. Padahal dalam prakteknya, masih banyak guru yang asing dengan perangkat teknologi canggih ini. Kedengarannya memang mudah dan bagus bahwa setiap guru mata pelajaran akan menggunakan perangkat TIK. Tunggu saja sampai para guru kebingungan bagaimana mengimplementasikan Kurikulum 2013 SMP/SMA dimana TIK harus menjadi media pembelajaran. Jangan-jangan yang terjadi adalah metode kembali ke metode lama sedangkan TIK jauh tidak tersentuh. Alamat kegagalan bagi Kurikulum 2013.
Selain tingkat penguasaan perangkat TIK oleh para guru yang masih dalam taraf belum siap, kemampuan sekolah pun dalam menyediakan perangkat TIK masih sangat beragam. Memang ada banyak sekolah yang cukup kaya sehingga kepemilikan perangkat TIK cukup lengkap. Tapi sebagian besar sekolah, terutama di daerah, masih minim fasilitas TIK-nya. Jangan heran jika dikatakan ada sekolah tingkat SMP atau SMA yang hanya punya lima atau tujuh komputer di laboratorium komputernya. Masih banyak sekolah yang belum punya akses internet. Masih banyak yang hanya punya satu atau dua proyektor, atau bahkan tidak memilikinya. Seperti halnya di sekolah kami SMP Negeri 1 Bontosikuyu, dengan perangkat komputer seadanya didukung dengan koneksi internet yang juga seadanya para siswa sangat antusias didalam melaksanakan pembelajaran tersebut, nah bagaimana jika jika TIK sudah dihilangkan?? SIswa yang gaptek akan tetap GAPTEK selamanya jauh tertinggal oleh siswa yang umumnya tinggal di Kota. Inilah sebenarnya kesalahan pemerintah selalu saja mengambil standar pendidikan wilayah perkotaan, tidak memikirkan sekolah-sekolah yang terpencil seperti sekolah kami.
Mari kita buat pengandaian. Jika sebuah sekolah teridiri dari 9 kelas dengan masing-masing tingkat, 3 kelas, menurut kami sekolah tersebut harus memiliki minimal 3 sampai 4 proyektor. Ini minimal. Dengan pengandaian bahwa pemakaian proyektor dilakukan secara bergiliran. Idealnya adalah sebanyak kelas. Proyektor ini penting karena Kurikulum 2013 menekankan pada, salah satunya, presentasi atau paparan dan juga berbasis TIK. Belum lagi komputer pendukung untuk setiap kelas. Ditambah lagi dengan beban listrik yang mau tak mau harus tambah daya. Apakah semua sekolah siap dengan semua ini? Kami sangat meragukannya.
Paparan ini tidak mengungkapkan semua dari kelemahan-kelemahan Kurikulum 2013 yang menjadikannya akan sulit diimplementasikan. Kuikulum 2013 mungkin memang bagus, tapi hanya jika para pelaksana di lapangan dan juga fasilitas yang dimiliki sekolah telah siap mengakomodasinya. Sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah di masa yang akan datang, bukan kurikulum yang harus terus menerus diubah, tapi pembinaan para guru (termasuk kesejahteraannya) dan melengkapi sarana prasarana sekolah (termasuk sekolah swasta) harus lebih mendapat perhatian. Selama ini, ada banyak guru yang cenderung dianaktirikan dan kurang mendapat perhatian, yaitu guru-guru di daerah (terpencil) dan guru-guru honorer. Juga ada banyak sekolah yang sangat jarang, atau bahkan tidak pernah sama sekali mendapat bantuan. Pemerintah semestinya bersikap adil dengan tidak memiliah-milah dan memilih-milih mana sekolah yang harus diutamakan dan mana yang dinomorduakan.
Juga tak kalah pentingnya yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah sistem rekrutmen PNS guru yang harus segera dibenahi. Profesionalitas tidak akan tumbuh dari sistem seleksi yang penuh kecurangan dan penuh cacat. Ini jika pemerintah menginginkan guru yang benar-benar berkualitas dengan kemampuan cukup memadai dan sesuai harapan.
Oleh karena itu, jika akhirnya Kurikulum 2013 tetap akan diberlakukan sesuai dengan hasrat pemerintah, kita harapkan jangan ada lagi kata perlu perubahan kurikulum akibat gagalnya kurikulum baru ini di masa yang akan datang.
Ada yang menekankan bahwa seharusnya pemerintah lebih fokus pada usaha memperbaiki kualitas guru dibandingkan mengutak-atik kurikulum. Menurut mereka, sebagus apapun kurikulum yang disiapkan, jika pelaksana di lapangan, yaitu para guru, tidak memiliki kemampuan untuk mengimplementasikannya dengan baik, maka kualitas yang diharapkan akan tetap saja hanya jadi angan-angan. Selama ini pemerintah dinilai kurang melakukan pembinaan terhadap para guru. Pelatihan sangat minim. Sehingga sebagian besar guru cukup mengajar hanya dengan pengetahuan seadanya. Ditambah lagi dengan kondisi kesejahteraan para guru, terutama yang honorer, yang dinilai masih jauh dari ketegori layak. Memang perhatian pemerintah terhadap guru masih jauh dari kata cukup. Ini terutama jika dibandingkan dengan beban besar yang dipikul oleh mereka dalam usahanya mencerdaskan anak bangsa.
Terkait dengan kemampuan para guru di lapangan inilah, banyak pihak yang meragukan bahwa Kurikulum 2013 akan berhasil. Mengapa? Kurikulum 2013 berangkat dari konsep yang kedengarannya sangat bagus. Terutana dalam hal pengintegrasian beberapa pelajaran ke pelajaran yang lain. Di tingkat SD, misalnya, mata pelajaran IPA dan IPS tidak lagi menjadi pelajaran yang berdiri sendiri. IPA, begitu kata pemerintah, akan diintegrasikan atau menjadi bahan bahasan mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika. Sedangkan IPS masuk ke dalam bahasan PPKn. Demikian juga dengan mata pelajaran Muatan Lokal (mulok) yang akan diintegrasikan kedalam mata pelajaran Seni Budaya dan Penjasorkes. Metode yang digunakan dalam pengintegrasian ini disebut tematik integratif, katanya. Sebuah konsep yang sebenarnya sudah muncul sejak Kurikukum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004. Apakah ini konsep yang mudah dipahami? Kami rasa tidak!
Pemerintah mungkin punya anggapan bahwa para guru di lapangan akan dengan mudah memahami konsep pengintegrasian semacam itu. Tapi anggapan ini terlalu bersifat optimistik. Dalam kenyataannya akan ada banyak guru yang mengalami kebingungan. Pemahaman, tingkat kesiapan, dan juga pengetahuan yang ada pada guru sangat beragam. Apalagi jika dikaitkan dengan dikotomi kota dan daerah (terpencil). Dikhawatirkan akan terjadi banyaknya materi suatu pelajaran yang terabaikan. Mata pelajaran IPA mungkin akan tercecer dan terbaikan akibat guru kurang memahami bagaimana mengintegrasikannya kedalam Bahasa Indonesia ataupun Matematika. Juga IPS mungkin hanya tersentuh sedikit saja ketika ia menjadi bagian dari PPKn. Hei, bukankah materi Bahasa Indonesia, Matematika, dan juga PPKn demikian banyaknya? Bagaimana guru mengatur porsinya? Dikhawatirkan anak-anak akan mengalami pemiskinan pengetahuan yang bersifat science yaitu IPA dan IPS. Padahal dua mata pelajaran ini merupakan mata pelajaran yang sangat penting untuk kemajuan bangsa. Anehnya, pemerintah malah menyebut kurikulum 2013 SD berbasis science! Dimana letak science-nya jika dua mata pelajaran penting science malah menjadi bagian mata pelajaran lain? Tidak Berdiri Sendiri.???
Bagi kami sendiri, untuk tingkat SD, lebih masuk akal jika PPKn yang diintegrasikan kedalam IPS. Dan itu lebih mudah dipahami. Kita tahu bahwa Pancasila dan kewarganegaraan (civic) seharusnya merupakan bagian dari ilmu sosial. Pembahasan mengenai Pancasila tidak perlu begitu detil sampai melahirkan buku yang begitu tebal (seperti yang selama ini terjadi). Cukup saja dikenalkan bahwa ideologi negara kita adalah Pancasila, siapa pencetusnya, dan nilai-nilai utama (cukup yang utama, tidak perlu bertele-tele) yang terkandung di dalamnya. Termasuk kewarnegaraan, cukup saja materi yang membuat anak paham tentang bagaimana menjadi warga negara yang baik.
Bahasa Indonesia, menurut kami, adalah media. Ya, bahasa adalah media. Ia menjadi media pengajaran untuk setiap mata pelajaran. Mengapa tidak Bahasa Indoensia saja yang diintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain? Bahkan ia bisa masuk ke pelajaran manapun. Dalam membuat laporan, membuat paparan, bahkan dalam presentasi lisan pun, bahasa Indonesia bisa masuk. Bukankah ini masuk akal? Jika sudah begini IPA dapat diselamatkan dan bahasa Indonesia tidak kehilangan porsi.
Untuk tingkat SMP dan SMA, Kurikulum 2013 juga menimbulkan keraguan dan tanda tanya. Bagaimana tidak, pemerintah mengklaim bahwa TIK akan menjadi media untuk setiap mata pelajaran lain sehingga tak perlu lagi menjadi pelajaran yang berdiri sendiri. Ini sangat kontroversial! Lagi-lagi pemerintah menilai secara keliru perihal kemampuan para guru. Pemerintah beranggapan bahwa semua guru sudah menguasai perangkat TIK. Padahal dalam prakteknya, masih banyak guru yang asing dengan perangkat teknologi canggih ini. Kedengarannya memang mudah dan bagus bahwa setiap guru mata pelajaran akan menggunakan perangkat TIK. Tunggu saja sampai para guru kebingungan bagaimana mengimplementasikan Kurikulum 2013 SMP/SMA dimana TIK harus menjadi media pembelajaran. Jangan-jangan yang terjadi adalah metode kembali ke metode lama sedangkan TIK jauh tidak tersentuh. Alamat kegagalan bagi Kurikulum 2013.
Selain tingkat penguasaan perangkat TIK oleh para guru yang masih dalam taraf belum siap, kemampuan sekolah pun dalam menyediakan perangkat TIK masih sangat beragam. Memang ada banyak sekolah yang cukup kaya sehingga kepemilikan perangkat TIK cukup lengkap. Tapi sebagian besar sekolah, terutama di daerah, masih minim fasilitas TIK-nya. Jangan heran jika dikatakan ada sekolah tingkat SMP atau SMA yang hanya punya lima atau tujuh komputer di laboratorium komputernya. Masih banyak sekolah yang belum punya akses internet. Masih banyak yang hanya punya satu atau dua proyektor, atau bahkan tidak memilikinya. Seperti halnya di sekolah kami SMP Negeri 1 Bontosikuyu, dengan perangkat komputer seadanya didukung dengan koneksi internet yang juga seadanya para siswa sangat antusias didalam melaksanakan pembelajaran tersebut, nah bagaimana jika jika TIK sudah dihilangkan?? SIswa yang gaptek akan tetap GAPTEK selamanya jauh tertinggal oleh siswa yang umumnya tinggal di Kota. Inilah sebenarnya kesalahan pemerintah selalu saja mengambil standar pendidikan wilayah perkotaan, tidak memikirkan sekolah-sekolah yang terpencil seperti sekolah kami.
Mari kita buat pengandaian. Jika sebuah sekolah teridiri dari 9 kelas dengan masing-masing tingkat, 3 kelas, menurut kami sekolah tersebut harus memiliki minimal 3 sampai 4 proyektor. Ini minimal. Dengan pengandaian bahwa pemakaian proyektor dilakukan secara bergiliran. Idealnya adalah sebanyak kelas. Proyektor ini penting karena Kurikulum 2013 menekankan pada, salah satunya, presentasi atau paparan dan juga berbasis TIK. Belum lagi komputer pendukung untuk setiap kelas. Ditambah lagi dengan beban listrik yang mau tak mau harus tambah daya. Apakah semua sekolah siap dengan semua ini? Kami sangat meragukannya.
Paparan ini tidak mengungkapkan semua dari kelemahan-kelemahan Kurikulum 2013 yang menjadikannya akan sulit diimplementasikan. Kuikulum 2013 mungkin memang bagus, tapi hanya jika para pelaksana di lapangan dan juga fasilitas yang dimiliki sekolah telah siap mengakomodasinya. Sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah di masa yang akan datang, bukan kurikulum yang harus terus menerus diubah, tapi pembinaan para guru (termasuk kesejahteraannya) dan melengkapi sarana prasarana sekolah (termasuk sekolah swasta) harus lebih mendapat perhatian. Selama ini, ada banyak guru yang cenderung dianaktirikan dan kurang mendapat perhatian, yaitu guru-guru di daerah (terpencil) dan guru-guru honorer. Juga ada banyak sekolah yang sangat jarang, atau bahkan tidak pernah sama sekali mendapat bantuan. Pemerintah semestinya bersikap adil dengan tidak memiliah-milah dan memilih-milih mana sekolah yang harus diutamakan dan mana yang dinomorduakan.
Juga tak kalah pentingnya yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah sistem rekrutmen PNS guru yang harus segera dibenahi. Profesionalitas tidak akan tumbuh dari sistem seleksi yang penuh kecurangan dan penuh cacat. Ini jika pemerintah menginginkan guru yang benar-benar berkualitas dengan kemampuan cukup memadai dan sesuai harapan.
No comments:
Post a Comment